Kisah Petani Kabupaten Belu Pantang Menyerah Kembangkan Kebun Salak

Phillipus Andreas Moruk, petani salak asal Desa Fatulotu, Kecamatan Lasiolat, Kabupaten Belu. (Sariagri/Charles)

Editor: Arif Sodhiq - Minggu, 17 Juli 2022 | 18:30 WIB

Phillipus Andreas Moruk, petani kebun asal Desa Fatulotu, Kecamatan Lasiolat, Kabupaten Belu sukses menanam dan mengembangkan 6.000 pohon salak. Kebun salak milik Andreas sudah berbuah dan telah dipanen dan dipasarkan dengan omzet jutaan rupiah per bulan.

Andreas mulai mengembangkan kebun salak pada tahun 1988. Saat itu dia menanam 25 bibit pohon salak yang diperoleh dari Pemerintah Desa Fatulotu. Awaknya dia menanam bibit pohon salak sesuai arahan petani setempat tanpa mengikuti petunjuk atau tata cara penanaman yang benar. Akibatnya, pohon salak memang tumbuh subur tetapi tidak menghasilkan buah.

Kejadian seperti itu terus berlanjut dari tahun ke tahun sehingga Andreas yang kecewa memutuskan pergi ke Kalimantan. Di sana, Andreas bekerja di Perusahaan Perkebunan Salak dan mulai belajar cara mengembangkannya agar bisa berbuah. Tiga bulan bekerja, Andreas mendapatkan pengetahuan itu.

Setelah mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dalam mengembangkan pohon salak, dia memutuskan untuk berhenti bekerja di perusahaan itu. Dia kemudian kembali ke kampung halamannya untuk mengembangkan usaha kebun salak miliknya yang sempat ditinggalkannya.

Andreas sangat optimistis bisa mengembangkan kebun salak miliknya dengan pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya, Selain itu kualitas tanah di Desa Fatulotu sama dengan kualitas tanah di Kalimantan.

Dengan modal pengetahuan dan pengalaman itu, Andreas menggarap lahan perkebunan, seluas lima hektare secara bertahap. Setiap hari dia menanam bibit pohon salak dan merawatnya. Aktivitas itu sama dengan yang dikerjakannya saat masih bekerja di perusahaan perkebunan salak.

Beberapa tahun kemudian, bibit yang ditanam dan dirawat tumbuh subur dan menghasilkan buah. Saat ini, Perkebunan Salak milik Andreas dipanen dan pasarkan di Kota Atambua dan sekitarnya, dengan harga Rp40 ribu per kilogram. 

Menurut dia perawatan dan pengembangan pohon salak berbeda dengan tanaman pohon buah lainnya. Petani harus merayap saat membersihkan duri di ranting sehingga saat panen terhindar dari tusukan. 

Hasil kebun salak milik Andreas digunakan untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup keluarga dan membantu membiayai pendidikan dua adiknya hingga selesai studi di perguruan tinggi. 

Saat ini, Andreas mengatakan belum bisa mengembangkan usahanya ke luar daerah karena kekurangan modal usaha. 

Dia menjual hasil kebun salaknya di Kota Atambua dan sekitarnya. Namun banyak juga pedagang buah atau warga lokal yang datang membeli langsung di kebun salak milik Andreas.