Laporan Khusus: Ambisi Besar Indonesia Menjadi Raksasa Kopi Dunia

Editor: Dera - Jumat, 28 Oktober 2022 | 19:00 WIB
Sariagri - Tren kopi dari masa ke masa terus mengalami perubahan. Tradisi minum kopi yang dahulu hanya dinikmati kalangan tertentu, kini justru menjadi gaya hidup dan budaya yang mengakar dalam keseharian.
Jika melihat jejak sejarahnya pada awal abad ke-9, kala itu kopi hanya ditanam oleh orang-orang dataran tinggi Ethiopia. Biji-bijian berenergi itu mulai dikenal dunia ketika bangsa Arab memperluas perdagangannya hingga ke Afrika Utara. Dari situlah, biji kopi meluas ke pasaran Eropa hingga Asia.
Tanaman kopi yang dibawa masuk ke Indonesia pada masa kolonial Belanda berhasil membuat Indonesia menjadi salah satu negara produsen kopi terbesar di dunia. Bahkan data terakhir pada tahun 2021, Indonesia menduduki posisi keempat sebagai penghasil kopi terbesar, setelah Brasil, Vietnam dan Kolombia.
Namun, peringkat tersebut tak lantas membuat pemerintah puas begitu saja. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahkan menargetkan produksi kopi Indonesia berada di posisi nomor satu dunia. Pemerintah pun telah membuat peta jalan pengembangan kopi tahun 2016-2045, di mana pada 2045 merupakan target akhir Indonesia menjadi ‘raksasa’ kopi dunia.

Ambisi tersebut bukan tanpa alasan, lantaran kopi tak hanya menjadi sumber pendapatan pekebun tapi juga devisa negara. Bahkan komoditas ini pada tahun 2020 merupakan penyumbang terbesar ketiga sub sektor perkebunan dengan ekspor sebanyak 379.354 ton atau senilai US$ 821.937.
Sektor ini juga menjadi penyedia lapangan kerja, di mana 98% perkebunan kopi didominasi perkebunan rakyat, dengan jumlah petani 1.888.069 KK. Secara tidak langsung, hal itu juga mendorong pertumbuhan wilayah agribisnis, di mana luas areal kopi sebesar 1.250.452 hektare melibatkan banyak stakeholder seperti pekebun, pedagang, pemasok industri, maupun pengolah.
Keunggulan Kopi Indonesia
Arabika, robusta dan liberika merupakan jenis kopi Indonesia yang memiliki ciri spesifisik, mulai dari aroma hingga cita rasanya yang unik. Kopi asli Tanah Air tersebut juga kerap meraih penghargaan di kancah internasional.
"Bahkan pada abad ke 17, Kopi Sumatera dan Mandheling dahulu pernah disebut sebagai The best coffee in the world & the highest priced. Pada masa itu, Java juga menjadi nama generik untuk menggambarkan minuman kopi melalui istilah a cup of Java,” ujar Direktur Jenderal Perkebunan, Andi Nur Alam Syah kepada Tim Laporan Khusus Sariagri, Jumat (28/10/2022).
Lebih lanjut Andi menambahkan, bahwa kopi arabika dengan cupping score lebih dari 80 dianggap memiliki taste yang khas dan spesifik sehingga dinamakan specialty coffee, seperti kopi mandailing, kopi jawa ijen raung dan kopi kintamani. Sedangkan untuk kopi robusta dengan cupping score tinggi, sebagian besar berasal dari wilayah Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan yang dikenal sebagai ‘segitiga emas’ kopi robusta.

Ekspor Vs Impor
Dijuluki sebagai surga kopi, sudah pasti Indonesia menjadikan komoditas unggulan ini untuk diekspor ke berbagai belahan dunia, seperti USA, Malaysia, Italia, Mesir, Jepang dan Jerman.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, volume ekspor Indonesia pada tahun 2017 sebenarnya sempat mencapai 467.799 ton, namun pada tahun 2018 turun drastis yaitu hanya 279.961 ton. Akan tetapi pada tahun berikutnya, volume ekspor secara perlahan meningkat, yaitu pada 2019 (359.053 ton), 2020 (379.354 ton), 2021 (407.852 ton).
Lalu, mengapa Indonesia masih impor, padahal menjadi negara produsen kopi terbesar di dunia?
Pertanyaan tersebut mungkin kerap muncul dibenak masyarakat. Pasalnya, impor kopi yang dilakukan pemerintah dikhawatirkan akan mengancam kesejahteraan petani kopi di Tanah Air.
Adapun negara pengimpor kopi ke Indonesia yaitu Vietnam, Brasil, Timor Timur, Malaysia, USA, Swiss, Italia, Kolombia. Di mana volume impor kopi pada tahun 2021 mencapai 13.545 ton.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Perkebunan, Andi Nur Alam Syah angkat bicara. Pihaknya mengatakan bahwa Indonesia mengekspor kopi sebagian besar dalam bentuk green bean, sementara impor kopi yang diterima oleh Indonesia didominasi kopi yang sudah disangrai dan diolah.
"Indonesia terkenal akan kualitas kopi yang luar biasa sehingga importir membeli green bean untuk diolah dan dicampur (blending) terus diedarkan ke berbagai negara termasuk Indonesia karena adanya kebutuhan konsumen,” tuturnya.
"Kebanyakan blending biji kopi impor tersebut digunakan oleh kedai-kedai kopi (coffee shop) sebagai bahan racikannya. Oleh karena itu ekosistem produksi dan bisnis kopi ekspor Indonesia harus dikembangkan, agar terintegrasi dari hulu ke hilir dan petani diberikan pelatihan kelembagaan serta pengembangan produk, agar dapat menghasilkan olahan kopi serta diberikan akses pasar dan program kemitraan usaha,” imbuh Andi.

Baca Juga: Laporan Khusus: Ambisi Besar Indonesia Menjadi Raksasa Kopi Dunia
Bustanul Arifin: Korporasi Petani Kopi Mampu Tingkatkan Kesejahteraan
Tantangan Petani Kopi
Di balik ambisi besar Indonesia, Kementan tak menampik jika masih banyaknya hambatan yang dilalui. Mulai dari belum terlaksananya teknik baku budidaya sesuai GAP (Good Agricultural Practices), serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) kopi lebih dari 40%, lemahnya kelembagaan Kelompok Tani, hasil olahan kopi yang belum sepenuhnya diterima oleh pasar, hingga tertutupnya akses informasi dan kurangnya promosi.
Kesulitan terbesar juga dicurahkan Hendrika Fauzi, petani kopi asal Aceh. Milenial kelahiran 1 Januari 1922 tersebut mengatakan serangan hama dan penyakit, serta perubahan iklim turut mempengaruhi produksi kopi.
"Kalau dari produksi, kita mengalami penurunan sekitar 10 persen, di mana di berbagai daerah di ketinggian 1.200 itu tidak layak lagi ditanami jenis kopi arabika. Beberapa petani pun sudah beralih ke robusta. Kemudian serangan hama dan penyakit meningkat hampir 50 persen,” ungkap Hendrik kepada Tim Laporan Khusus Sariagri, Jumat (28/10/2022).
Meski sukses mengekspor kopi ke mancanegara, namun Hendrik ternyata pernah berada di titik jenuh, lantaran syarat ekspor yang sangat berliku serta besarnya dana yang dikeluarkan.
"Saya saat ini semakin gak tertarik dengan ekspor. Dulu saya sebenarnya tertarik sekali dan belajar ekspor sendiri, tapi lama kelamaan saya semakin bosan,” bebernya.
"Misalnya kita lobi setengah mati dikasih 30 persen saja kayaknya sudah luar biasa, jarang tuh 50 persen payment di awal, jadi kita butuh modal dulu, belum prosesnya, bayar orang, packing, siapkan dokumen, baru kirim kopi nya, butuh waktu satu hingga dua bulan,” keluh Hendrik.
Kini, pria berusia 30 tahun itu lebih tertarik menjual kopinya di pasar lokal, lantaran semakin menjamurnya kedai-kedai kopi di Indonesia. Peluang itu pun dinilai Hendrik lebih menggiurkan. Akan tetapi di sisi lain, Hendrik juga masih mengekspor kopinya ke Taiwan dan berharap pemerintah melihat kendala yang kerap dihadapi para pelaku industri kopi.
"Kalau mau skill up untuk UMKM kayak kami, dari pemerintah cukup subsidi ongkos ke luar negeri, misal kemarin saya masukin ke Amerika, butuh waktu dua bulan, ongkos kirimnya saja tiga kali lipat dari harga barang,” pungkas Hendrik, seraya berharap ekspor kopi Indonesia kembali menjadi primadona.
Petani milenial itu juga meminta pemerintah, khususnya kementan untuk ’turun gunung’ agar melihat secara langsung problematika yang dialami petani kopi, sehingga berbagai permasalahan kopi dari hulu ke hilir bisa diatasi.
"Pemerintah harus sering-sering main ke lapangan, jangan hanya menerima laporan dari bawahan dalam bentuk kertas, jadi bisa melihat secara detail persoalan di lapangan. Pemerintah juga harus banyak berkolaborasi dengan akademisi, pengusaha, dan lainnya,” pungkasnya.

Turun Gunung & Duduk Bersama
Jika melihat data produktivitas kopi di Tanah Air, Wenny Bekti Sunarharum, Akademisi dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, mengatakan ambisi Indonesia cukup sulit diwujudkan. Menurutnya, komoditas kopi di Indonesia belum menjadi fokus utama. Sebab, Indonesia memiliki sejumlah hasil pertanian lainnya seperti bahan pangan pokok.
"Menurut saya tidak perlu terlalu berambisi menjadi supplier kopi nomor satu di dunia, karena nanti semua negara produksi lainnya juga melakukan hal sama dengan berbagai kelebihan yang mereka miliki daripada kita," ujar Wenny kepada Tim Laporan Khusus Sariagri, Jumat (28/10/2022).
"Petani itu buktinya mereka selain tanam kopi, mereka menanam tanaman lain juga. Lahan petani itu paling hanya dibawah 5.000 meter. Sementara Brasil itu lahannya bisa hektaran, ya wajar lahan hektaran itu fokus produksi kopi. Sehingga harus tinggi produksinya dan banyak hasilnya, karena satu petani sudah bisa menghasilkan cukup banyak dari lahan yang cukup luas tadi," sambungnya.
Tak hanya persoalan lahan, Wenny juga mengungkapkan faktor menurunnya produktivitas kopi terjadi lantaran generasi saat ini enggan terjun ke pertanian.
"Orang kan kalau ditanya ya maunya sekarang jadi Youtuber atau kerja industri, duitnya lebih banyak daripada petani kotor-kotoran. Coba tanya orang yang kuliah pertanian nanti ga banyak yang mau terjun ke lahan. Apalagi misalnya dengan kopi yang dia hanya menghasilkan panen dalam setahun atau beberapa bulan panen. Enggak bisa jadi gantungan hidup mereka kalau tidak tanam palawija atau lainnya," cetusnya.
Menurutnya, untuk mengatasi permasalahan kopi di Indonesia diperlukan agenda "duduk bersama", baik itu dari pemerintah, peneliti, akademisi maupun dari pelaku industri kopi itu sendiri. Agenda tersebut bisa menjalin sebuah komunikasi dari berbagai kepentingan guna menjawab tantangan kopi kedepannya.
"Jadi orang-orang ini perlu ada forum bersama. Setidaknya memberikan pandangan dan solusi bersama. Kadang kita bicara gak tau permasalahan real di petani. Tidak tahu kondisinya seperti apa. Sehingga bisa beri solusi yang diharapkan. Kebanyakan kebijakan itu sekarang tidak hasil penelitian atau pertimbangan lain. Jadi perlu mendukung research by policy kalau itu saya bilangnya," ujarnya.
"Menurut saya duduk bareng jadi penyelesaian tidak secara ego sektoral saja. Tapi duduk bersama karena punya kepentingan bersama ini untuk negara. Ini Arahnya kesejahteraan masyarakat juga dan juga untuk kelestarian kopi agar tetap bisa dijadikan dalam cangkir. Jangan sampai 10-20 tahun lagi kopi itu jadi sejarah," sambungnya.
Ya, menjadi penghasil kopi nomor satu di dunia memang bukan hal mudah, lantaran butuh jurus jitu serta gebrakan besar dari pemerintah agar target tersebut bisa terwujud. Hal yang tak kalah penting yaitu pemerintah harus peka terhadap keluhan petani, saran pakar, hingga 'turun gunung' agar persoalan kopi dari hulu ke hilir bisa terselsaikan. Jika itu dilakukan, maka bukan hal mustahil Indonesia mampu menjadi 'raksasa' kopi dunia.
Tim Laporan Khusus
Reporter: Rashif Usman
Grafis: Faisal Fadly