Ekspor Minyak Sawit Merosot, Gapki: Mesti Diantisipasi karena Sumber Devisa

Editor: Yoyok - Rabu, 25 Januari 2023 | 18:30 WIB
Sariagri - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melaporkan ekspor minyak sawit atau crude palm oil//CPO Indonesia selama 4 tahun terakhir terus merosot. Bila pada 2019 ekspor mencapai 37,4 juta ton, lalu turun menjadi 34 juta ton pada 2020 dan kembali turun menjadi 33,67 juta ton pada 2021. Malah, ekspor sepanjang 2022 mencapai 30,8 juta ton atau turun 8,52 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono mengatakan tren penurunan ekspor tersebut harus diantisipasi, sebab minyak sawit adalah salah satu sumber devisa negara.
Dia pun berharap agar situasi pada 2022 seperti kelangkaan minyak goreng dan pelarangan ekspor sawit tidak lagi terjadi tahun ini.
“Tahun 2022 paling tidak normal, mudah-mudahan dinamika yang bergejolak itu tidak terjadi lagi tahun ini,” ujar Joko seperti dikutip sejumah media pada Rabu (25/1/2023).
Kendati secara volume mengalami penurunan, nilai ekspor CPO, olahan, dan turunannya pada 2022 mencapai 39,28 miliar dolar AS atau naik 10,65 persen dibandingkan 2021 sebesar 35,5 miliar dolar AS. “Ini terjadi karena memang harga produk sawit tahun 2022 relatif lebih tinggi dari harga tahun 2021,” jelas Joko.
Joko mengungkapkan, kinerja industri sawit sepanjang 2022 dipengaruhi oleh sejumlah kejadian, antara lain cuaca yang ekstrem basah, lonjakan kasus Covid-19 pada Februari, dimulainya perang Ukraina-Rusia, harga minyak nabati termasuk minyak sawit yang sangat tinggi, harga minyak bumi yang sangat tinggi, kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah 28 April - 23 Mei, harga pupuk yang tinggi, dan sangat rendahnya pencapaian program peremajaan sawit rakyat (PSR).
“Kejadian tidak biasa tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja industri sawit Indonesia baik dalam produksi, konsumsi, maupun ekspor,” ujar Joko.
Joko menjelaskan, secara teknis, cuaca ekstrem basah mengganggu aktivitas serangga penyerbuk dan kegiatan panen. Kemudian, pupuk yang mahal dan sulit diperoleh mengganggu kegiatan pemeliharaan tanaman. Lalu, pelarangan ekspor menyebabkan buah tidak dipanen, tidak hanya pada periode pelarangan tetapi juga beberapa bulan sesudahnya ketika stok masih sangat tinggi.
“Program PSR yang tidak mencapai target dan pertambahan luas areal yang secara total hanya 600.000 hektare dalam 5 tahun terakhir akibat moratorium perizinan berusaha untuk kelapa sawit menyebabkan hilangnya harapan kenaikan produksi dari tanaman-tanaman baru,” jelas Joko.
Baca Juga: Ekspor Minyak Sawit Merosot, Gapki: Mesti Diantisipasi karena Sumber DevisaPresiden Jokowi Larang Ekspor CPO, Petani: Sangat Menyakitkan
Selain itu, dia menuturkan, harga yang sangat tinggi juga menyebabkan penundaan replanting oleh banyak pekebun sehingga porsi tanaman tua yang produktivitasnya lebih rendah menjadi lebih banyak. Situasi ini berkontribusi terhadap pencapaian produksi CPO pada 2022 sebesar 46,73 juta ton, lebih rendah dari produksi pada 2021 sebesar 46,88 juta ton.
“Ini merupakan tahun ke-4 berturut-turut di mana produksi cenderung terus turun atau stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia,” ucap Joko.