20 Persen Lahan Hutan Mangrove di Sumsel Rusak, Ini Penyebabnya
Penulis: Arya Pandora, Editor: Rojes Saragih - Jumat, 7 Agustus 2020 | 11:01 WIB
SariAgri - Luasan lahan mangrove di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mencapai 158.734 hektare dan dari jumlah itu, sekitar 20 persen mengalami kerusakan.
Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Sumsel, Panji Putrantijo, mengatakan bahwa tanaman mangrove erat kaitannya dengan sedimentasi yang ada di perairan provinsi ini. Dikatakan Panji, areal sedimentasi pun harus segera ditanami mangrove agar tidak terjadi abrasi.
“Ada sekitar 50 hektare lahan mangrove di Sumsel yang direhabilitasi pada tahun ini (2020). Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat air payau dan air laut. Agar tidak terjadi abrasi, daerah sedimentasi juga harus ditanami mangrove,” kata Panji kepada SariAgri.id di Palembang.
Dana rehabilitasi lahan mangrove di Sumsel tersebut ada yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan juga ada dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Ia menyebut, bahwa dari luasan lahan hutan mangrove di Sumsel tercatat 20 persen mengalami kerusakan. Itu diakibatkan karena alih fungsi lahan, penebangan kayu untuk bahan baku arang, dan dijadikan tambak ikan atau udang.
“Kami terus melakukan pelestarian lewat kelembagaan masyarakat. Mulai dari organisasi lingkungan dan lembaga lainnya,” ucapnya.
Hal yang sama juga diutarakan Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Irjen Pol Drs Jhonny Siahaan SH MH. Berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2019, luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 3,31 juta hektare. Dari luasan tersebut, seluas 0,67 juta hektare atau 19 persen dalam kondisi kritis.
“Tapi kondisi yang baik masih sekitar 2,67 juta hektar atau sekitar 81 persen. Meski demikian kondisi tanaman mangrove yang kritis tetap menjadi pekerjaan rumah kami,” ujar Jhonny di Palembang.
Dia mengungkapkan, bahwa ekosistem mangrove sendiri merupakan sumber daya lahan basah wilayah pesisir dan menjadi sistem penyangga kehidupan yang mengandung kekayaan alam dengan nilai tinggi.
Selain itu, kata Jhonny, mangrove sendiri berfungsi sebagai pelindung abrasi air laut serta tanaman penyimpan karbon.
“Tanaman mangrove juga dapat menjadi kawasan ekowisata dan mitigasi bencana,” tambah Jhonny.
Ia menjelaskan, kelestarian ekosistem mangrove memang harus terus dijaga. Karena itu, lanjut dia, perlu koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor, instansi dan lembaga dalam pemeliharaan ekosistem mangrove.
Ditambahkan dia, berbagai kajian akademik secara konsisten menunjukkan bahwa kehilangan mangrove terbesar di Indonesia dipicu oleh perluasan lahan tambak yang sangat masif.
“Alih fungsi lahan menjadi pemukiman, perkebunan, sarana infrastruktur, penebangan ilegal serta pencemaran limbah menjadi penyebab utama tergerusnya lahan mangrove di Indonesia,” ungkapnya.
Baca Juga: 20 Persen Lahan Hutan Mangrove di Sumsel Rusak, Ini PenyebabnyaGubernur Deru Optimistis Taman Wisata Mangrove di Sumsel Saingi Bali
Sejauh ini, sambung dia, berbagai upaya telah dan akan dilaksanakan pemerintah untuk merehabilitasi lahan mangrove. Kini, ia mengklaim, luasan lahan mangrove yang telah direhabilitasi seluas 47.925 hektare.
“Ke depan, proses rehabilitasi akan dilakukan lebih masif lagi. Ya, tak hanya mengandalkan dana APBN, tapi juga dana CSR perusahaan. Minimal setiap tahunnya kita merehabilitasi sebanyak 1.000 hektare lahan mangrove yang rusak,” beber dia. (Rio P/SariAgri Sumatera Selatan)