Pendekatan Normatif Tak Cukup untuk Selesaikan Konflik Agraria

Ilustrasi lahan pertanian (Pixabay)

Penulis: Arif Sodhiq, Editor: Redaksi Sariagri - Kamis, 7 Januari 2021 | 12:15 WIB

SariAgri - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan laporannya pada tahun 2020 terjadi peningkatan konflik agraria terutama banyak disumbang dari sektor perkebunan dan kehutanan. Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Surya Tjandra mengatakan pendekatan normatif saja tidak cukup untuk menyelesaikan konflik agraria.

“Konflik agraria meningkat barangkali karena kita belum menyentuh akar masalah di lapangan yaitu ketimpangan akses dan kepemilikan atas tanah,” ujarnya dalam webinar yang diadakan Konsorsium Pembaruan Agraria pada Rabu (6/1/2021).

Menurut dia, dalam menyelesaikan konflik agraria harus dihubungkan dengan reforma agraria agar dapat diselesaikan dengan cara lebih kreatif.

“Misalnya begini, suatu konflik agraria lalu kami hanya bilang kalau rakyat yang bersangkutan tidak mempunyai payung atau hak hukum atas tanahnya setelah itu dianggap selesai pekerjaan kami, tidak begitu ya seharusnya,” jelasnya.

Tugas negara, menurut dia, semua hal yang menyangkut pelayanan publik dan menyelesaikan masalah sosial. Kedua hal tersebut harus saling terkoneksi.

Dia menjelaskan reforma agraria merupakan salah satu program strategis nasional (PSN) yang dicanangkan awalnya dalam nawa cita era Presiden Jokowi pada tahun 2015 yang saat ini menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Berita Perkebunan - Baca Juga: Teh Tambi dan Pagilaran, Varietas Unggul dari Balittri
Perluas Akses Pasar, Display Kopi Bantu Promosikan Kopi Petani

Surya menyebut tantangan dalam menyelesaikan konflik agraria yaitu perlunya leadership yang sangat kuat. Selain itu, saat ini tumpang tindih aturan pemerintah juga menyebabkan munculnya konflik agraria pada pelepasan tanah khususnya yang masuk ke dalam kawasan hutan.

“Untuk diketahui luasan hutan Indonesia ada 2/3 dari total tanah di negara ini, yang menjadi kewenangan BPN hanya 1/3-nya. Contoh tumpang tindih aturan dalam pelepasan kawasan hutan yang digunakan KLHK skala kawasannya 1:200.000, sedangkan skala yang digunakan BPN 1:5000. Masalah tersebut yang ingin dituntaskan presiden di periode pertama melalui kebijakan satu peta (KSP),” jelasnya.

Wamen ATR/BPN mengungkapkan pelaksanaan kebijakan satu peta masih belum selesai sehingga menyebabkan sebagian masalah agraria juga belum terselesaikan.

“Harus ada koordinasi dan komunikasi yang efektif antara kementerian lembaga, sampai saat ini masih belum bisa dilaksanakan dengan baik,” katanya.

Selain itu, hambatan lain saat ini permasalahan agraria hanya dipegang satu ditjen di BPN.

“Nantinya kami ingin ada lagi Ditjen lainnya dalam mengurusi permasalahan agraria, seperti pemberdayaan dan retribusi tanah,” katanya.

Kementerian ATR/BPN juga baru dibentuk saat era Presiden Jokowi yang sebelumnya hanya merupakan sebuah badan.

“Sejak menjadi kementerian seharusnya BPN ada perubahan paradigma, walaupun baru terbentuk kurang lebih 6 tahun namun sudah mulai menunjukkan progres. Saya juga tahu diri mungkin saya belum bisa menyelesaikan semua konflik agraria itu saat ini, tapi saya selaku wakil menteri akan terus berusaha membuat pondasi untuk membentuk tindakan penyelesaian konflik di agraria di masa depan,” katanya.

Baca Juga: Pendekatan Normatif Tak Cukup untuk Selesaikan Konflik Agraria
Konflik Agraria Tahun 2020 Didominasi Sektor Perkebunan

Pemahaman menyeluruh terhadap kebutuhan masyarakat membutuhkan partisipasi baik dari masyarakat, LSM, pemerintah maupun swasta.

“Ide atau gagasan dalam penyelesaian konflik datang bukan hanya dari pemerintah pusat sendiri, tetapi juga dari LSM, masyarakat, perwakilan wilayah, swasta. Semuanya harus dikumpulkan dan dikombinasikan,” pungkasnya.

Berita Perkebunan : Luarnya Durian Didalamnya Nangka