Perkebunan kopi = Perubahan iklim disebabkan meningkatnya gas rumah kaca (GRK) akibat kegiatan antropogenik dan non antropogenik.
SariAgri - Kegiatan antropogenik dan non antropogenik memicu peningkatan gas rumah kaca (GRK) yang berdampak pada perubahan iklim. Suhu global telah meningkat 0,3-0,6C selama 100 tahun terakhir dan diperkirakan akan meningkat 1- 3,5C hingga tahun 2100.
Peningkatan suhu disertai dengan perubahan curah hujan, pola badai dan frekuensi kekeringan yang semakin sering. Perubahan iklim dapat menyebabkan penurunan hasil tanaman dan mengancam keamanan pangan.
Kenaikan suhu 1C dapat menurunkan hasil panen kopi arabika 137 kg/ha. Meningkatnya kejadian iklim ekstrem seperti kekeringan akibat El Nino menurunkan produksi kopi 10%.
Sedangkan musim hujan panjang akibat La Nina menurunkan produksi hingga 80%. Selain itu peningkatan suhu udara juga dapat menyebabkan ledakan hama dan penyakit tanaman termasuk kopi.
Baca Juga:
Teh Tambi dan Pagilaran, Varietas Unggul dari Balittri
'Clear Coffee' Kopi Bening Rendah Kafein Buatan Puslit Koka
Pertanian berkontribusi 10%-12% pada emisi GRK secara global. Dinitrogen oksida (N2O) merupakan GRK antropogenik yang berasal dari penggunaan pupuk dalam kegiatan pertanian dan kotoran ternak.
Emisi N2O dari tanah disebabkan penggunaan pupuk kimia nitrogen pada pupuk urea dan ammonium sulfat dapat mengalami perubahan menjadi N2O dan NO2 melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi.
Berbagai upaya terus dilakukan untuk meningkatkan produksi kopi secara nasional, namun peningkatannya masih rendah. Penyebab rendahnya produktivitas kopi rakyat antara lain teknik budidaya masih tradisional (umumnya perkebunan rakyat/smallholder), tanaman banyak yang sudah tua dan sebagian besar belum menggunakan klon unggul.
Peluang untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman masih terbuka dengan menerapkan inovasi teknologi sesuai kondisi agroekologi setempat. Namun teknologi itu harus mudah dan murah sehingga bisa diadopsi petani dengan cepat.
Menurut laman Balitbangtan, strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilakukan dengan penerapan good agricultural practices (GAP), penggunaan varietas/klon tahan kekeringan dan penggunaan mulsa organik, lebih banyak pohon penaung dan sistem tumpang sari, pembuatan rorak dan biopori.
Pengelolaan hutan rakyat dengan pola agroforestri berpotensi besar menyerap dan menyimpan karbon dalam bentuk tegakan untuk jangka waktu lama. Penggunaan bibit kopi batang bawah klon unggul dengan perakaran kuat mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan penurunan kesuburan tanah. Kopi robusta merupakan jenis kopi tahan kekeringan, karena memiliki perakaran lebat.
Mitigasi GRK bertujuan mengurangi emisi GRK dan meningkatkan penyerapan GRK atmosfer, terutama CO2 melalui fotosintesis sebagai cadangan karbon (sink) dalam bahan organik tanah dan biomas tanaman.
Sektor pertanian berperan positif dalam membantu mengurangi CO2 di atmosfer, dengan cara menyerap dan menyimpan karbon dalam biomas tanaman dan meningkatkan kandungan karbon dalam tanah.
Mitigasi GRK dapat dilakukan dengan pemanfaatan limbah tanaman perkebunan sebagai sumber bahan organik, arang (biochar), pakan ternak dan sumber bioenergi, antara lain melalui pengembangan model sistem integrasi tanaman dan ternak (SITT), serta peremajaan tanaman perkebunan yang sudah menurun produktivitasnya untuk meningkatkan serapan dan cadangan karbon.
Salah satu cara budidaya tanaman kopi dengan cara organik dan mengintegrasikannya dengan ternak kambing. Petani memberi pupuk organik dengan takaran 10 kg/pohon/tahun. Pemberian pupuk organik diberikan 2 kali tanpa pemberian pupuk anorganik.
Pemberian pupuk organik dengan cara membumbunkannya pada daerah perakaran secara melingkar. Takarannya 5 kg/pohon dan dilakukan pada awal dan akhir musim penghujan.
Model integrasi tanaman kopi dan ternak kambing sudah diterapkan petani kopi di Provinsi NTB, NTT, Bali dan Jawa Tengah. Emisi gas N2O dari lahan perkebunan kopi organik di NTB terukur 2,29 kg N2O-N/ha/tahun lebih kecil bila dibandingkan emisi pada perkebunan kopi konvensional yang bisa mencapai 8,4 kg N2O-N/ha/tahun.
Besaran emisi N2O tergantung dari pemberian pupuk nitrogen (N), kandungan N, kelembaban tanah, suhu dan lain-lain. Budidaya konservasi dapat menambah lebih banyak karbon yang dikembalikan ke lahan dan memperlambat laju proses konversi karbon dalam bahan organik menjadi gas CO2. Selain menguntungkan, hasil kopi organik mempunyai cita rasa yang lebih nikmat dan ramah lingkungan.